Fiqh Prioritas: Mendahulukan Hal yang Harus Didahulukan dan Mengakhiri Hal yang Harus Diakhirkan
Salah satu konsep penting yang dibutuhkan dalam fiqih kita sekarang adalah fiqih prioritas. Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan berdasarkan penilaian syariah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.
Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat. Dan sesuatu yang biasa-biasa saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama atau yang paling utama.
Sesuatu yang semestinya didahulukan; harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan; harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, Swt.
“Dan Allah Swt telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu memerangi neraca itu” (Ar-Rahman: 7-9)
Dasarnya ialah sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama, berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang lebih besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk rukun dan ada pula yang sekedar pelengkap; ada persoalan yang penting tapi ada yang lebih penting, ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.
Persoalan seperti itu telah dijelaskan di dalam al-Quran, sebagaimana difirmankan Allah Swt,
“Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman di sisi Allah dan hari kemudain serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslim yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (at-Taubah: 19-20)
Disamping itu Rasulullah saw juga bersabda,
“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih; yang paling tinggi di antaranya ialah ‘la ilaha illa Allah’ dan yang paling rendah ialah ‘menyingkirkan gangguan dari jalan’ ” (Hr. Bukhari)
Para sahabat Nabi saw memiliki semangat untuk mengetahui amalan yang paling utama, untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Oleh karena itu, banyak sekali pertanyaan yang mereka ajukan kepada baginda Nabi saw mengenai amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai Allah Swt; sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh Ibnu Masud, jawaban yang diberikan Nabi saw atas pertanyaan itu pun banyak sekali sehingga tidak sedikit hadits yang dimulai dengan ungkapan,
‘Amalan yang paling mulia…,”: dan ungkapan ‘Amalan yang paling dicintai Allah ialah…”
“Diriwayatkan dari ‘Amr bin Abasah ra berkata bahwa ada lelaki berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah apakah Islam itu?” Beliau menjawab,
“Islam itu ialah penyerahan hatimu kepada Allah, dan selamatnya kaum Muslim dari lidah dan tanganmu. “Lelaki itu bertanya lagi, “Manakah Islam yang paling utama?”
Rasulullah saw menjawab, “Iman”. Lelaki itu bertanya lagi, “Apa pula iman itu?” Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah mati.” Lelaki itu bertanya lagi,”Manakah iman yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Berhijrah”.
Lelaki itu bertanya lagi. “Apakah yang dimaksud dengan berhijrah itu?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau meninggalkan kejelekan.” Lelaki itu bertanya kembali, “Manakah hijrah yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Jihad”. Dia bertanya lagi, “Apakah yang dimaksud dengan jihad itu?” Beliau menjawab, “Hendaklah engkau memerangi orang-orang kafir apabila engkau berjumpa dengan mereka.” Dia bertanya lagi, “Jihad mana yang paling utama?” Rasulullah saw menjawab, “Jihad orang yang mempersembahkan kuda dan darahnya.” (Hr. Ahmad)
Barangsiapa yang mau meneliti apa yang dinyatakan di dalam al-Quran dan sunnah yang suci dalam masalah ini, maka dia akan menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, atau penjelasan mengenai hakikatnya. Dia akan melihat bahwa hal-hal yang berkaitan amalan, nilai, dan kewajiban yang paling utama, paling baik, dan paling dicintai Allah Swt telah diletakkan di depan kita.
Contohnya:
“Salat berjamaah itu lebih utama daripada salat sendirian; dengan kelebihan sebanyak dua puluh tujuh tingkatan” (Hr. Bukhari dan Muslim)
“Satu dirham dapat menandingi seratus dirham” (Hr. An-nasai)
“Berjaga dalam jihad selama sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa dan qiyamul lail selama sebulan. (Hr. Muslim)
“Sesungguhnya keikutsertaan salah seorang dari kamu dalam jihad di jalan Allah adalah lebih baik daripada salat yang dilakukan olehnya di rumahnya selama tujuh puluh tahun” (Hr. Tirmidzi)
Sebaliknya, ada juga hal yang berkaitan dengan penjelasan mengenai pelbagai perbuatan buruk, dengan berbagai tingkat perbedaannya di sisi Allah Swt; berupa dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil; perkara yang syubhat dan perkara makruh.
Kadang-kadang sebagian perbuatan ini dikaitkan satu dengan lainnya; seperti “Satu dirham barang riba yang dimakan oleh seseorang, dan dia mengetahui bahwa itu adalah riba, maka dosa itu lebih berat di sisi Allah Swt daripada tiga puluh enam kali zina” (Hr. Ahmad)
Kita juga diperingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan yang lebih buruk daripada perbuatan lainnya. Seperti hadits,
“Sesuatu yang paling jelek yang ada di dalam diri seseorang ialah sifat kikir yang amat berat, dan sifat pengecut” (Hr. Bukhari)
“Sejelek-jelek orang ialah orang yang meminta dengan sumpah atas nama Allah, kemudian dia tidak diberi” (Hr. Ahmad)
“Sejelek-jelek umatku ialah mereka yang paling banyak omongnya, bermulut besar, dan berlagak pandai; dan sebaik-baik umatku ialah mereka yang paling baik akhlaknya.” (Hr. Bukhari)
“Manusia yang dianggap sebagai pencuri paling ulung ialah orang yang mencuri salatnya, tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya; sedangkan manusia yang paling kikir ialah orang yang paling enggan untuk mengucapkan salam.” (Hr. Thabrani)
Al-Quran juga telah menjelaskan bahwa derajat manusia itu tidak sama meskipun kemanusiaan mereka sama karena mereka sama-sama diciptakan sebagai manusia. Akan tetapi, sesungguhnya ilmu dan amal perbuatan mereka sama sekali berbeda satu dengan lainnya. Al-Quran mengatakan,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kamu…” (al-Hujurat: 13)
“…Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?…” (az-Zumar: 9)
“Tidaklah sama antara orang Mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. Yaitu beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Swt Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (an-Nisa: 95-96)
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama antara orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati…” (Fathir: 19-22)
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah…” (Fathir: 32)
Begitulah kita menemukan bahwa manusia berbeda satu dengan lainnya, dan mereka memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lainnya. Amal perbuatan mereka berbeda; dan yang membedakan kedudukan mereka satu sama lainnya ialah ilmu, amal, ketaqwaan, dan perjuangannya.
#ditulis ulang dari Buku Fiqh Wanita karya DR. Yusuf Qaradhawi