Halaman Menu Navigasi

Cara Berhubungan dengan Sesama Manusia

PERCAMPURAN

Beberapa kata mempunyai makna baru dan bahkan ada yang meluas. Salah satunya adalah kata “percampuran atau pergaulan”. Percampuran di sini berkenan dengan percampuran laki-laki dan wanita dalam satu tempat. Pada masa Nabi saw, para sahabat, dan para pengikutnya, muslimin dan muslimat bertemu di tempat pengajian atau di tempat perkumpulan lainnya secara terpisah, dan hal ini tidak dilarang sama sekali. Selama berada di jalan yang benar dan ada alasan yang syar’i, maka wajar dan sah-sah saja bagi mereka untuk bertemu. Inilah yang disebut “percampuran”.

Bagaimanapun, pada masa sekarang kata tersebut sudah tidak asing lagi. Saya pun mulai mengenalnya ketika kata tersebut memiliki konotasi baru yang negatif. Misalkan, mencampurkan satu benda dengan benda lain memberi kesan pelarutan, seperti gula atau garam yang dilarutkan di dalam air, kiasan tersebut akan sangat berbahaya jika terjadi pada hubungan pria dan wanita (belum menikah). Maksudnya adalah untuk menjelaskan tidak setiap jenis sosialisasi dilarang, seperti yang dibayangkan beberapa orang dan yang ditentang oleh orang-orang radikal. Sebaliknya, tidak semua bentuk pencampuran diterima seperti yang dituntut para pejuang barat.

Di jilid kedua buku saya “Fataawa Mu’aserah” (Fatwa Kontemporer, saya menjawab beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan salam wanita, jabat tangan, wanita yang dirawat oleh dokter laki-laki dan sebaliknya. Seorang muslim yang berhati-hati seharusnya merujuk kepada fatwa ini jika dia ingin belajar tentang aturan-aturan Islam (syara). Meskipun demikian, saya akan lebih suka menjelaskannya sebagai kewajiban kita melaksanakan risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw, yang disebarkan oleh para pengikutnya dan para sahabatnya yang senantiasa berada di jalan yang lurus. Nabi menganjurkan untuk menghindari dua jalan ekstrim yaitu barat yang serba membolehkan dan timur yang terlalu mengekang.

Dengan mengkaji risalah yang dibawa Nabi saw, kami menemukan bahwa wanita tidak dikurung dan diasingkan seperti yang terjadi pada masa sebelum datangnya Islam. Wanita menghadiri salat Jumat di mesjid Nabi, termasuk salat Isya dan Subuh. Nabi saw menempatkan mereka di belakang baris laki-laki, lebih kebelakang lebih baik sehingga mereka tidak akan melihat bagian sensitif tubuh pria yang nampak. Karena pria hanya memakai celana panjang dan pakaian dalam, dan disana tidak ada hijab antara pria dan wanita.

Lebih dari itu, di awal salat Jumat pria dan wanita akan masuk lewat pintu yang sama sehingga terjadi desak-desakan. Nabi saw. bersabda, “Seandainya kami membiarkan pintu masuk masuk ini bagi wanita. “Sehingga mereka menyediakan pintu khusus bagi wanita “pintu masuk wanita”.

Mengenai salat Jumat, selama masa Nabi, wanita selalu menghadirinya dan mendengarkan khutbah. Sampai-sampai salah satu dari mereka hapal surat Qaf,  karena Nabi saw. sering khutbah tentang surat tersebut di atas mimbar. Mereka juga sering menghadiri dua hari raya besar Islam dan ikut serta di dalamnya, yang melibatka seluruh orang, tua dan muda laki-laki dan wanita. Acara tersebut biasa diadakan di tempat terbuka sambil bertakbir menyebut nama Allah. Ummu Athiyah, yang hidup pada masa Nabi berkata, “Kami sering diperintahkan menghadiri perayaan-perayaan besar agama”.

Dalam hal inipun, Ummu Athiyah berkata, “Rasulullah saw telah memerintahkan kepada kami untuk keluar (menuju lapangan) pada saat hari raya Idul Fitri dan Adha; baik wanita tua, yang sedang haid, maupun perawan”. Wanita zang sedang haid menjauh dari kerumunan orang salat, tapi mereka menzaksikan kebaikan dan seruan zang ditujukan kepada kaum muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah sorang di antara kami tidak memiliki jilbab (pakaian). “Beliau kemudian bersabda, “Hendaklah salah seorang saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Ini adakah salah satu aspek kehidupan yang diabaikan umat Islam di kebanyakan negeri-negeri mereka, seperti ‘itikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan dan menghadiri salat hari raya. Hal-hal seperti ini mulai kembali dihidupkan oleh generasi muda Islam sekarang ini yang tersadarkan.

Para wanita selalu mengikuti pengajian Nabi saw. Mereka berani bertanya kepada Aisyah mengenai permasalahan yang janggal. Istri Nabi saw, Aisyah memuji-muji wanita Anshor yang tidak malu mencari ilmu agama dan berani bertanya tentang masalah-masalah pokok seperti najis (persetubuhan yang melarang seseorang melakukan ibadah), hubungan intim, membersihkan najis, menstruasi dan masalah-masalah lainnya.

Permasalahan mereka lebih banyak dibanding laki-laki. Sehingga mereka meminta hari khusus untuk mengkaji tanpa bersaing dengan sekerumunan laki-laki, dan mereka bebas untuk berkata terus terang, “Ya Rasulullah, para laki-laki itu telah bersaamu sepanjang waktu, jadi sediakanlah satu hari bagi kami.” Nabi saw, berjanji menyediakan waktu satu hari bagi mereka dan menasehati serta memberikan ilmu kepada kaum wanita tersebut.

Para wanita juga berperan aktif dalam peperangan. Mereka ikut serta dalam peperangan bersama tentara mujahidin (prajurit yang memperjuangkan kehidupan Islam) dan memberikan bantuan semampu mereka. Seperti mengunjungi orang yang terluka, memberikan pertolongan medis, merawat para pejuang yang terluka, di samping itu mereka juga memasak, mencari air dan lain-lain. Ummu Athiyah berkata, “Aku melanjutkan tujuh ekspedisi militer bersama Nabi saw; aku akan melindungi para pejuang, membuat makanan mereka, menyediakan perbekalan, merawat orang-orang yang terluka dan merawat orang sakit.”

Anas salah seorang sahabat Nabi meriwayatkan, “Pada kemenangan perang Uhud, Aisyah dan Ummu Salim, menyingsingkan lengan baju mereka, untuk mengambil air di tas kulit yang ada di punggung mereka dan memberikannya pada tentara “membuka mulut”. “Waktu itu Aisyah masih berumur belasan tahun, hal ini membantah pernyataan yang tidak benar bahwa partisipasi wanita dalam ekspedisi militer dan peperangan dibatasi hanya bagi para wanita tua. Secara realistis, pernyataan tersebut bertentangan dengan logika, orang yang lanjut usia tidak akan sanggup mengerjakan pekerjaan yang terlalu berat, karena mengingat fisik dan jiwanya yang lemah bertentangan dengan keadaan darurat pada saat siang.

Dalam perkara yang sama, Imam Ahmad mengatakan kembali, “Enam wanita yang beriman ikut serta bersama bala tentara menyerbu Khaibar, tugas ereka adalah memberikan anak panah kepada para pejuang, menyediakan makanan, memberi air minum , merawat orang-orang yang terluka, mendongeng dan menolong karena Allah. Bahkan, Nabi saw. membagi mereka harta rampasan perang.”

Hal ini juga mengakibatkan beberapa istri sahabat mengangkat senjata dalam beberapa ekspedisi dan peperangan. Seperti perbuatan Ummi Imarah Nasba binti Ka’ab pada perang Uhud yang sudah terkenal dengan baik, sehingga Rasul berkata, “Sikap Ummi Imarah mengungguli beberapa orang.” Pada peperangan Hunain, Ummi Salim, memegang pisau  belati untuk menikam musuh-musuhnya yang mendekat padanya. Cerita ini diceritakan kembali oleh anaknya Anas, “Pada perang Hunain, Ummi Salim memegang sebuah pisau belati, ketika suaminya melihatnya, Abu Talhah, suaminya berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Ummi Salim memegang pisau belati. “Ketika Rasul bertanya kepada Ummi Salim, Ummi Salim menjawab, “Pisau ini kugunakan untuk menikam perut kafirin yang mendekatiku,” saat itu Rasul tersenyum.

bersambung..

#sumber: DR. Yusuf Qaradhawi dalam buku Fiqih Wanita

Tulis komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *